Saka Bukik Batabuah
Ketika “Kabau Minang
Dikalahkan Kabau Japang”
Agam,(LW)
Jika memandang Gunung Marapi dari arah Bukittinggi, akan kelihatan warna
hijau muda seperti rerumputan yang memenuhi lereng gunung tertinggi di Luhak
Nan Tigo ini. Tapi, itu bukanlah rumput, itu adalah ladang tebu. Sari dari tebu
itu kemudian akan diolah menjadi Saka oleh penduduk setempat.
Mengolah Saka, merupakan aktifitas keseharian dari masyarakat Kenagarian
Bukik Batabuah, Kecamatan Canduang. Hampir 80% dari total penduduk memanfaatkan
kesuburan dari tanah gunung dengan menanami tebu.
Luas lahan ladang tebu ini sangat fantastis, sekitar 1087 Ha. Karena itu,
kawasan ini menjadi salah satu sentra utama dari produksi Saka di Sumatera
Barat. Mengolah tebu menjadi gula saka, bukanlah proses yang mudah. Untuk satu
batang tebu saja diperlukan proses yang berbelit-belit. Bayangkan saja, sebelum
tebu ini dikilang, petani harus terlebih dahulu memilih tebu yang siap untuk
digiling, kemudian menebangnya. Setelah menebangnya, batangan tebu tersebut
harus dipikul sendiri dengan berat puluhan kilo menuju tempat pengilangan.
Letak ladang itu sendiri berada di lereng-lereng curam yang memberatkan
langkah, belum lagi kulit tebu itu penuh dengan miang yang bisa menyebabkan kulit
menjadi gatal.
Sangat berat sekali proses mengolah Saka ini, setelah tebu ini sampai di
gubuk pengilangan, lalu dibersihkan dan dipotong-potong untuk kemudian diperas
airnya. Bagian ini merupakan hal yang paling menarik untuk dilihat, proses
memeras sari tebu ini umumnya masih menggunakan tenaga kerbau. Dengan mata
tertutup kain berwarna gelap, kerbau itu berjam-jam berjalan melingkari
kilangan. Mata kerbau itu harus ditutup agar Binatang khas Sumatera Barat ini
tidak pusing akibat berputar-putar. Diawasi oleh petani saka, kerbau itu secara
perlahan menarik tuas kayu yang tersambung ke alat pemeras tebu. Sari tebu yang
sudah ditampung itu, kemudian akan dimasak dan diaduk dalam kuali dengan api
yang besar. Setelah masak, dibiarkan hingga mengental.
Proses ini masih berlanjut, sari tebu yang mengental itu akan berwarna
kecoklatan. Ini yang disebut oleh penduduk lokal sebagai “Tangguli” atau
manisan. Proses melelahkan ini memakan waktu hingga tiga hari. Setelah selesai,
kemudian diolah lagi dan dibentuk dengan batok kelapa khusus sehingga kemudian
menjadi gula saka serta siap untuk dipasarkan. Tak dapat dipungkiri, gula saka
ini sudah menjadi bagian pokok dari berbagai kuliner. Rasa manis alami
meberikan sentuhan beraroma khusus pada banyak makanan tradisional di
Minangkabau.
Meski kebanyakan masih menggunakan pola tradisional, ada juga kelompok tani
yang sudah memanfaatkan teknologi untuk memperbanyak produksi. Seperti kelompok
tani Guguak Pili. Kelompok tani yang dikepalai oleh Uda Ril ini, sudah memakai
pola modern dengan memakai mesin peras tebu berukuran besar. Kapasitas produksi
dari mesin ini mampu berkali lipat hasilnya dari pada menggunakan tenaga
kerbau.” Meski kami bisa memproduksi secara besar, tapi kami masih saja tetap
kesulitan dalam memasarkannya,” ujar Uda Ril.
Pemasaran memang menjadi kendala tersendiri dalam usaha ini, saat ini harga
perkilo masih berkisar Rp,7.500 saja. Idealnya harga Saka ini berkisar diantara
Rp,15.000an. Tak hanya harga saja yang diharapkan segera naik, Uda Ril juga berharap
agar pasar tempat Saka ini didistribusikan tidak lagi dikuasai oleh tengkulak
sehingga harga Saka dapat terus stabil.
Sementara itu, Wali Nagari Bukik Batabuah Masdi War SP.Di juga mengakui
bahwa perhatian dari Pemerintah terhadap usaha ini amat mengesankan. Meski
demikian, Wali Nagari juga prihatin melihat usaha ini kurang diminati oleh
generasi muda, sehingga bisa saja usaha Saka ini dapat hilang dari Nagari Bukik
Batabuah suatu saat nanti.
Penggunaan mesin besar berkapasitas tinggi dari Jepang ini, tentunya
berdampak terhadap usaha tradisional menggunakan tenaga kerbau. Keberadaan
kerbau untuk mengilang ini, tinggal menghitung hari.(021/LW)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar