vidio slide


tampilan slide


Sabtu, 24 Januari 2015

Ukiran Minang





                            


     
 

   Masuk-keluar galeri seni di Nagari Pandai Sikek, Tanah Datar, Sumatra Barat, membuat kepala saya mendadak pening. Tentu saja bukan pening dalam arti sebenarnya. Melihat koleksi songket menawan tapi tak bisa memilikinya ternyata lumayan menyiksa. Seperti kasih tak sampai. Itulah yang membuat kepala saya tiba-tiba pening.


   Harga songket khas Pandai Sikek memang tak bersahabat dengan isi kantong saya yang pas-pasan. Di beberapa toko yang saya datangi, banderol kain songket termurah sekitar Rp800.000. Mahal amat. Apalagi saat mampir ke sana, pertengahan Juni lalu, kartu ATM saya sedang hilang. Uang tunai pun mulai menipis. Alhasil, saya tak bisa berkutik saat melihat songket-songket indah dan menggoda hati itu.
Kunjungan ke Pandai Sikek idenya muncul spontan. Awalnya saya dan sahabat saya, Krisna, berencana langsung menempuh perjalanan Payakumbuh-Padang. Tapi karena hari masih lumayan siang, kami memutuskan mampir ke Pandai Sikek yang terletak antara Bukittinggi dan Padang. Ketika turun dari angkutan umum di gapura masuk Nagari Pandai Sikek, hujan turun menyambut. Tak mau bercapek-capek dan kehujanan, kami memilih naik ojek.
   Setelah sekitar 20 menit masuk-keluar galeri seni, kami memutuskan segera bertolak ke Padang, takut kesulitan dapat angkutan umum. Tapi ketika sedang celingak-celinguk mencari ojek, mata saya tertumbuk pada sebuah bangunan sederhana yang terselip di antara deretan galeri seni modern. Warna cat dindingnya mencolok, oranye segar. Sedangkan bagian atapnya terbuat dari seng berwarna biru cerah.  Ada sebuah papan nama bertuliskan “Ukiran Chan Umar” yang ditempelkan di atas pintu masuk.
Tanpa berpikir panjang, saya dan Krisna, memutuskan mencari tahu. “Boleh masuk melihat-lihat Pak?” tanya saya kepada seorang pria paruh baya yang memakai kemeja bermotif kotak-kotak biru muda. Beliau tak keberatan. Bapak yang kemungkinan berusia sekitar 45 tahun tersebut sedang asyik mencokel-cokel sebuah papan di meja kerjanya dengan pahat. Saya kemudian minta izin melihat-lihat. Sembari mengambil gambar, saya melontarkan sejumlah pertanyaan kepada bapak yang ternyata adalah Pak Chan Umar, seperti yang tertulis di papan penunjuk. Pak Chan dengan sabar menjawab pertanyaan sembari melanjutkan pekerjaanny
   Bengkel ukiran Umar Chan tersebut berdiri sejak tahun 1990 alias berumur sekitar 23 tahun. Pegawainya sekitar delapan orang, tapi saat itu hanya tiga orang yang masuk . Saya mencoba berinteraksi dengan salah seorang pegawai yang sedang mengukir, tapi dia diam saja tak menanggapi pertanyaan saya. Pak Chan kemudian menjelaskan jika pegawainya tersebut tuli. Sedangkan seorang pegawai lainnya masih kecil. Menurut Pak Chan si anak sedang dalam tahap belajar. “Dulu banyak pengrajin ukiran Minang di Pandai Sikek sini, tapi sekarang tinggal sedikit, salah satunya di bengkel saya ini,” cetus Pak Chan.
   Ketika melihat-lihat pajangan piagam di dinding, Krisna menemukan sesuatu yang menarik. Salah satu piagam berasal dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, yang saat itu dijabat Jero Wacik. Piagam bertanggal 27 November 2008 tersebut diberikan sebagai penghargaan kepada Pak Chan sebagai seniman senior Indonesia yang merupakan pelestari dan pengembang seni ukir khas Minangkabau. Ada juga foto saat Pak Chan menerima penghargaan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pak Chan juga mendapat penghargaan Semen Padang UKM Award 2012. Wah, ternyata Pak Chan ini memang istimewa. “Pesananan kebanyakan dari daerah sekitar sini saja, ada juga yang dari Bukittinggi,” tukas Pak Chan.
  Untuk yang satu ini, Pak Chan sepertinya merendah. Karena penasaran, sekembali dari Bukittinggi saya mencari informasi di internet mengenai Pak Chan. Ternyata beberapa media nasional pernah mengangkat kisahnya. Ukiran Pak Chan cukup tersohor di wilayah Sumatra Barat, apalagi Pandai Sikek memang dikenal sebagai salah satu sentra kain songket dan ukiran Minang yang biasa diguakan untuk hiasan rumah gadang. Bahkan pemesan ukiran Pak Chan adea yang berasal dari mancanegara, salah satunya Austria. Harga ukiran Minang milik Chan Umar cukup tinggi, karena tingkat kesulitannya juga tinggi. Menurut Pak Chan, lama waktu pembuatan tergantung dari kerumitan motif dan jumlah pegawai yang mengerjakan. Untuk satu meter persegi, ukiran minangkabau khas Pak Chan dibanderol hingga Rp1,5 juta. “Untuk sebuah rumah gadang, biaya untuk ukiran hiasannya saja bisa tembus Rp150. Memang mahal sekali,” tukas Pak Chan( LW 21 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar