Masuk-keluar galeri seni di Nagari
Pandai Sikek, Tanah Datar, Sumatra Barat, membuat kepala saya mendadak pening.
Tentu saja bukan pening dalam arti sebenarnya. Melihat koleksi songket menawan
tapi tak bisa memilikinya ternyata lumayan menyiksa. Seperti kasih tak sampai.
Itulah yang membuat kepala saya tiba-tiba pening.
Harga songket khas Pandai Sikek
memang tak bersahabat dengan isi kantong saya yang pas-pasan. Di beberapa toko
yang saya datangi, banderol kain songket termurah sekitar Rp800.000. Mahal
amat. Apalagi saat mampir ke sana, pertengahan Juni lalu, kartu ATM saya sedang
hilang. Uang tunai pun mulai menipis. Alhasil, saya tak bisa berkutik saat
melihat songket-songket indah dan menggoda hati itu.
Kunjungan ke Pandai Sikek idenya
muncul spontan. Awalnya saya dan sahabat saya, Krisna, berencana langsung
menempuh perjalanan Payakumbuh-Padang. Tapi karena hari masih lumayan siang,
kami memutuskan mampir ke Pandai Sikek yang terletak antara Bukittinggi dan
Padang. Ketika turun dari angkutan umum di gapura masuk Nagari Pandai Sikek,
hujan turun menyambut. Tak mau bercapek-capek dan kehujanan, kami memilih naik
ojek.
Setelah sekitar 20 menit
masuk-keluar galeri seni, kami memutuskan segera bertolak ke Padang, takut
kesulitan dapat angkutan umum. Tapi ketika sedang celingak-celinguk mencari
ojek, mata saya tertumbuk pada sebuah bangunan sederhana yang terselip di
antara deretan galeri seni modern. Warna cat dindingnya mencolok, oranye segar.
Sedangkan bagian atapnya terbuat dari seng berwarna biru cerah. Ada
sebuah papan nama bertuliskan “Ukiran Chan Umar” yang ditempelkan di atas pintu
masuk.
Tanpa berpikir panjang, saya dan
Krisna, memutuskan mencari tahu. “Boleh masuk melihat-lihat Pak?” tanya saya
kepada seorang pria paruh baya yang memakai kemeja bermotif kotak-kotak biru
muda. Beliau tak keberatan. Bapak yang kemungkinan berusia sekitar 45 tahun
tersebut sedang asyik mencokel-cokel sebuah papan di meja kerjanya dengan
pahat. Saya kemudian minta izin melihat-lihat. Sembari mengambil gambar, saya
melontarkan sejumlah pertanyaan kepada bapak yang ternyata adalah Pak Chan
Umar, seperti yang tertulis di papan penunjuk. Pak Chan dengan sabar menjawab
pertanyaan sembari melanjutkan pekerjaanny
Bengkel ukiran Umar Chan tersebut
berdiri sejak tahun 1990 alias berumur sekitar 23 tahun. Pegawainya sekitar
delapan orang, tapi saat itu hanya tiga orang yang masuk . Saya mencoba
berinteraksi dengan salah seorang pegawai yang sedang mengukir, tapi dia diam
saja tak menanggapi pertanyaan saya. Pak Chan kemudian menjelaskan jika
pegawainya tersebut tuli. Sedangkan seorang pegawai lainnya masih kecil.
Menurut Pak Chan si anak sedang dalam tahap belajar. “Dulu banyak pengrajin
ukiran Minang di Pandai Sikek sini, tapi sekarang tinggal sedikit, salah
satunya di bengkel saya ini,” cetus Pak Chan.
Ketika melihat-lihat pajangan piagam
di dinding, Krisna menemukan sesuatu yang menarik. Salah satu piagam berasal
dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, yang saat itu
dijabat Jero Wacik. Piagam bertanggal 27 November 2008 tersebut diberikan
sebagai penghargaan kepada Pak Chan sebagai seniman senior Indonesia yang
merupakan pelestari dan pengembang seni ukir khas Minangkabau. Ada juga foto
saat Pak Chan menerima penghargaan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pak
Chan juga mendapat penghargaan Semen Padang UKM Award 2012. Wah, ternyata Pak
Chan ini memang istimewa. “Pesananan kebanyakan dari daerah sekitar sini saja,
ada juga yang dari Bukittinggi,” tukas Pak Chan.
Untuk yang satu ini, Pak Chan
sepertinya merendah. Karena penasaran, sekembali dari Bukittinggi saya mencari
informasi di internet mengenai Pak Chan. Ternyata beberapa media nasional
pernah mengangkat kisahnya. Ukiran Pak Chan cukup tersohor di wilayah Sumatra
Barat, apalagi Pandai Sikek memang dikenal sebagai salah satu sentra kain
songket dan ukiran Minang yang biasa diguakan untuk hiasan rumah gadang. Bahkan
pemesan ukiran Pak Chan adea yang berasal dari mancanegara, salah satunya
Austria. Harga ukiran Minang milik Chan Umar cukup tinggi, karena tingkat
kesulitannya juga tinggi. Menurut Pak Chan, lama waktu pembuatan tergantung
dari kerumitan motif dan jumlah pegawai yang mengerjakan. Untuk satu meter
persegi, ukiran minangkabau khas Pak Chan dibanderol hingga Rp1,5 juta. “Untuk
sebuah rumah gadang, biaya untuk ukiran hiasannya saja bisa tembus Rp150.
Memang mahal sekali,” tukas Pak Chan( LW 21 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar